IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XVI/2018 TERHADAP PERLUASAN PERAN DPR DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA
DOI:
https://doi.org/10.33474/hukeno.v6i1.11462Abstract
Â
Praktik perjanjian internasional di Indonesia, diterjemahkan sebagai “pengesahan†dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, adanya pengesahan menjadi niscaya karena kepala negara merasa perlu untuk meyakinkan bahwa delegasi yang diberi kuasa penuh olehnya tidak melampaui batasan wewenangnya, sehingga pada tanggal 22 November 2018 Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan Nomor 13/ PUU-XVI/2018, dasar permohonan uji materil ini karena dianggap telah menimbulkan kerugian konstitusional yang dirasakan pemohon disebabakan oleh adanya perjanjian internasional yang berdampak luas terhadap kehidupan rakyat dan  MK mengganti kriteria yang ada dalam Pasal 10 UU PI dengan kriteria dalam Pasal 11 (2) UUD, yaitu perjanjian harus mendapat persetujuan DPR. Pada penulisan ini dilatarbelakangi dengan adanya permaslahan yaitu, apa implikasi yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 terhadap perluasan peran DPR dalam perjanjian internasional di Indonesia, dan apa urgensi perluasan peran DPR dalam perjanjian internasional di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normаtif. Sedangkan pendekatan penelitian yakni pendekаtаn perundаng-undаngаn, pendekаtаn konseptuаl, dan pendekаtаn perbandingan. Kesimpulannya bahwa implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 terhadap perluasan peran DPR dalam perjanjian internasional berupa persetujuan DPR hanya diperlukan apabila materi perjanjian internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Seangkan urgensi perluasan peran DPR dalam perjanjian internasional dapat dilihat dari dua sisi, yaitu, interkasi dengan presiden meliputi supremasi konstitusi, sifat pengawasan dan interasksi dengan raykat melalui lembaga perwakilan baik Presiden atau DPR.
Kata Kunci: Perjanjian Internasional, Pengujian Materil, Kewenangan.
Â
The practice of international agreements in Indonesia, translated as "ratification" in Article 1 number (2) of Law Number 24 of 2000 concerning International Agreements, the ratification becomes necessary because the head of state feels the need to ensure that the delegates authorized by him do not exceed the limits. authority, so that on November 22, 2018 the Constitutional Court decided on application Number 13/PUU-XVI/2018, the basis for this judicial review application was because it was considered to have caused constitutional harm to the applicant because of an international agreement that had a broad impact on people's lives and the Court replaced the which is in Article 10 of the PI Law with the criteria in Article 11 (2) of the Constitution, namely the agreement must be approved by the DPR. This writing is motivated by the existence of problems, namely, what are the juridical implications of the Constitutional Court Decision Number 13/PUU-XVI/2018 on the expansion of the role of the DPR in international agreements in Indonesia, and what is the urgency of expanding the role of the DPR in international agreements in Indonesia. The type of research used is normative juridical research. While the research approach is a statutory approach, a conceptual approach, and a comparative approach. The conclusion is that the juridical implications of the decision of the Constitutional Court Number 13/PUU-XVI/2018 on the expansion of the DPR's role in international agreements in the form of DPR approval are only needed if the material of an international agreement causes broad and fundamental consequences related to the burden of state finances or requires changes or the formation of laws. law. Meanwhile, the urgency of expanding the role of the DPR in international agreements can be seen from two sides, namely, interaction with the president including the supremacy of the constitution, the nature of supervision and interaction with the people through representative institutions, either the President or the DPR.
Keywords: International Agreement, Material Testing, Authority.
References
Buku
I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional, Bagian I, Bandung: Mandar Maju.
Iur Damos Dumoli Agusman, 2010, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Jakarta: Refika Aditama.
Jimly Asshiddiqie, 2008, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Jimly Asshiddiqie, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Maruarar Siahaan, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, 2011, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Bandung: Nusa Media.
Ni’matul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press.
Sefriani, 2018, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Depok: Rajawali Press.
Internet
Hikmahanto Juwana, “Konsekuensi Ratifikasi Perjanjian Internasionalâ€, http://www.seputar-indonesia.com/ edisicetak/content/view/181327/, diundah 23 April 2021.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 13/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, diakses di http://igj.or.id/wp-content/uploads/2018/12/13_PUU-XVI_2018.pdf.
Downloads
Published
Issue
Section
License
Jurnal Hukum dan Kenotariatan issued by the Postgraduate Notary Masters Program at the Universitas Islam Malang apply the Copyright and License provisions under Lisensi Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional.